Negara kita yang udah sumpek dengan manusia yang berjubel dimana mana, sekarang ditambah lagi dengan adanya sampah-sampah yang memadati setiap ruas-ruas jalan. Padahal luas jalan yang ada tidak seberapa dibanding dengan volume kendaraan yang setiap tahunnya terus bertambah. Sudah padat dengan kendaraan, sekarang ditambah dengan adanya sampah-sampah yang jumlahnya tidak sedikit dan menyebabkan bau yang pastinya juga tidak enak. Liat saja beberapa ruas jalan di Kota Bandung, pasti banyak sampah yang udah pasti ga enak dipandang.
Anto, dia adalah seorang anak pemulung yang tinggal dipinggiran Kota Bandung. Usianya memang masih terbilang muda, dia baru berumur 10 tahun, dan sekarang masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Meski masih terbilang sangat muda, semangatnya untuk bekerja dan kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar seperti sampah-sampah dan lain sebagainya terbilang sangat tinggi.
Siang itu sepulang sekolah, Anto biasa membantu bapaknya memulung di sekitar perumahan-perumahan padat penduduk yang berada lumayan jauh dari tempat tinggalnya. Hari itu udara terasa sangat panas, matahari seperti berada tepat diatas kepala. Panasnya terasa sangat membakar kulit, meski begitu dengan bercucuran keringat Anto dan bapaknya berjalan menyusuri bak sampah dari satu rumah ke rumah lainnya.
Sudah sekitar satu jam lebih mereka berjalan dibawah terik sinar matahari. Sampai akhirnya mereka melewati sungai besar yang arusnya tidak terlalu besar. Mereka beristirahat sejenak dipinggiran sungai itu untuk melepas lelah. Anto terus memperhatikan sungai yang ada dihadapannya dan terus menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu kenapa To?” tanya bapaknya ketika melihat anaknya menggeleng-gelengkan kepalanya. “ Mengapa sungai ini kini menjadi berwarna coklat pekat dan banyak sampah yang menghiasinya ya Pak? Padahal kata ibu guru, dulu sungai di Kota Bandung itu airnya jernih dan bersih, tidak seperti sekarang ini.” tanya Anto polos. “Itu kan dulu, di saat orang-orang masih memperdulikan lingkungan sekitarnya, berbeda dengan sekarang, semua orang kini sudah tidak peduli lagi dengan keadaan di sekitar mereka.” jelas bapaknya. “Tapi kan jika mereka masih seperti ini, bukannya akan membahayakan diri mereka sendiri. Jika hujan turun sampah-sampah itu kan akan menyumbat saluran airnya dan membuat air meluap ke daratan, kemudian terjadilah banjir, yang tentunya akan merugikan mereka sendiri.” “Ya sudah lah To, tak usah kau fikirkan masalah semacam ini, ini bukan urusanmu, biarlah pemerintah yang mengurusnya, sekarang kau bantu saja lagi bapak mencari botol-botol dan kardus-kardus.” ucap bapaknya yang kemudian beranjak dari tempat duduknya lalu melanjutkan mencari botol-botol di sekitar situ.
Baru beberapa menit saja pembahasan soal sampah berakhir antara Anto dan bapaknya, tetapi kini Anto melihat sendiri bagaimana seseorang membuang sampah ke dalam sungai dengan wajah tidak berdosa. Bapak-bapak berumur sekitar setengah baya itu dengan mudahnya melemparkan dua kantong plasik di tangannya ke dalam sungai. Anto yang melihat kejadian itu merasa begitu sangat kesal. Anto kemudian mendekati bapak itu.
“Pak saya lihat tadi bapak membuang sampah ke dalam sungai dengan seenaknya? Apa bapak tidak tahu bahayanya membuang sampah sembarangan seperti ini?” celetuk Anto pada bapak-bapak yang ada dihadapannya itu. “Heh !! kamu anak kecil tau apa? Jangan so so nasihatin orang tua.” ucap bapak itu dengan penuh amarah. Sorot matanya terlihat begitu tajam memandang Anto. “Saya bukan mau nasihatin bapak tapi saya hanya ingin mengingatkan bapak akan bahaya yang bisa saja timbul dengan bapak yang selalu berbuat seperti ini.” jawab Anto tanpa menyadari kesalahannya. “Apa? Kamu bilang ini bukan nasihatin, jadi apa dong? Sudah lah dasar anak kurang ajar pergi sana !!” usir bapak itu dengan nada suara penuh amarah. Anto yang masih tidak mau mengalah terus saja berbicara pada bapak itu. Ketika bapak Anto yang sedang asik mencari botol-botol bekas, mendengar percekcokan mulut itu, dia langsung menghampiri anaknya, kemudian dia meminta maaf kepada bapak-bapak tadi, dan segera meninggalkan tempat itu.
“Bapak mengapa tadi bapak meminta maaf pada bapak-bapak itu, padahalkan sudah jelas yang salah dia.” seru Anto masih sedikit kesal. “Dengar nak, kau boleh saja peduli terhadap lingkungan dan mengingatkan orang-orang agar mereka juga menghargai lingkungan sekitar. Tetapi kau juga harus bisa menempatkan diri. Kau ini masih anak kecil, dan tidak sepantasnya kau berbicara seperti itu kepada bapak-bapak tadi atau kepada siapapun terutama kepada orang yang lebih tua daripadamu. Kalau kau ingin mengingatkan mereka tentang bahaya membuang sampah sembarangan atau apapun, yaa silahkan saja bapak tidak melarang malah bapak mendukung. Tapi ingat menyampaikannya dengan sopan santun dan dengan kata-kata yang sopan. Jadi kesannya tidak seperti menggurui. Dan juga jangan sampai membahayakan dirimu sendiri. Kau dengar?” jelas bapak Anto menasihati anaknya itu. “Iya pak jelas, maafkan aku karena aku sudah berbicara tidak sopan dan mempermalukan bapak tadi.” Anto sangat menyesali perbuatannya itu. “Iya sudah tidak apa-apa, jangan sampai diulangi saja lagi.” “Baik pak.” jawab Anto sambil menundukan kepalanya.
Semenjak itu setiap Anto bertemu dengan orang yang membuang sampah sembarangan atau mencabuti tanaman atau apa pun perbuatan yang merusak lingkungan dan keindahan lingkungan, Anto selalu mencoba mengingatkan orang-orang itu dengan cara lemah lembut yang diajarkan bapaknya tempo hari. Memang tidak sedikit yang mencibir atau menyepelekannya karena usianya yang masih muda tetapi mempunyai fikiran yang dewasa dan jauh kedepan. Tetapi Anto pun tidak putus asa dia terus mengingatkan orang-orang, dan terus menjaga lingkungan sekitarnya.